PENDAHULUAN
Menurut Suyatno, (1994). Perbankan adalah suatu badan yang berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. Perbankan didefinisikan juga sebagi suatu badan yang memiliki tugas utama menghimpun dana dari pihak ketiga.
Menurut Suyatno, (1994). Perbankan adalah suatu badan yang berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. Perbankan didefinisikan juga sebagi suatu badan yang memiliki tugas utama menghimpun dana dari pihak ketiga.
Sedangkan menurut Nopirin (1992) pengertian perbankan yang
lain yaitu bank adalah suatu lembaga keuangan yang tujuan utamanya adalah
mencari keuntungan, keuntungan merupakan selisih antara pendapatan dan biaya.
Pendapatan diperoleh dari hasil kegiatan yang berupa pemberian pinjaman dan
pembelian surat-surat berharga, sedangkan biayanya berupa pembayaran bunga dan biaya-biaya
lain dalam upayanya menarik sumber dana masyarakat.
Sedangkan
menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang pokok-pokok perbankan
adalah, “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa
dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Maksud lembaga keuangan
menurut undang-undang tersebut adalah semua badan yang kegiatan-kegiatannya
dalam bidang keuangan, menarik uang dari dan menyalurkannya ke dalam
masyarakat.
Menurut Listfield dan Montes-Negret (1994), sistem pembayaran
adalah prosedur, peraturan, standar serta instrumen yang digunakan untuk
pertukaran nilai keuangan (financial value) antara dua pihak yang terlibat
untuk melepaskan diri dari kewajiban.
Sementara itu, Mishkin (2001) mengungkapkan secarasederhana
bahwa sistem pembayaran adalah
metodedasaruntukmengaturtransaksidalamperekonomian.
Dasar
hukum dari sistem pembayaran nasional Indonesia adalah KUHD (Kitab Undang
Undang Hukum Dagang) dan UU No. 3 tentang Bank Sentral. Lembaga yang melayani
jasa pembayaran di lndonesia dapat digolongkan sebagai Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank. Kondisi dan karakteristik dari masing- masing lembaga
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bank Indonesia dan Bank-Bank Umum Perbankan Indonesia terdiri dari Bank
Indonesia (BI) sebagai bank sentraldi Indonesia, bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). Jasa pembayaran hanya disediakan oleh BI dan bank umum.
2. Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB) Sejak terjadinya liberalisasi pada sector keuangan,
Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) memegang peran penting sebagai salah satu
sumber pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun dan pegadaian. Sesuai
ketentuan peraturan yang berlaku pada saat ini, LKBB dapat pula menyediakan
jasa kartu kredit (telah dilakukan oleh beberapa LKBB).
Kegiatan PT POS Indonesia juga terkait dengan penyelenggaran
jasa pembayaran, khususnya pada produk “Buku Giro“ untuk pengiriman uang dan
penyetoran pajak. Jasa pengiriman uang ini dijalankan sebagai sistem yang mandiri,
di luar dari perbankan
PERKEMBANGAN PERBANKAN DI INDONESIA
Perekonomian Indonesia masih
mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan
debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan
perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi
adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan
tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan
dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan
deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan
masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan
Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam
pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967.
Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum
dan BPR.
UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang
kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang
melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan
pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan
ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang
yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap
perbankan.
Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi
permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian
pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI
menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk
Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung,
Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang
Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam
melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991
yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan
kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak
1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti
sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit
perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat
memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan
dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti,
meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi
meningkat.
Perkembangan
Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
|
Kantor
Bank Pemerintah
|
Kantor
Bank Swasta
|
||
Pusat
|
Cabang
|
Pusat
|
Cabang
|
|
1988
|
7
|
852
|
104
|
876
|
1989
|
7
|
922
|
141
|
1656
|
1990
|
7
|
1018
|
164
|
2545
|
1991
|
7
|
1044
|
185
|
3203
|
1992
|
7
|
1066
|
201
|
3341
|
1993*
|
7
|
1066
|
213
|
3382
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993
Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indonesia
juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada tahun 1989-90.
Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen
dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah. Pada tahun
1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9
persen atau 121.7 persen dari tahun 1988. Hal yang sama juga
terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan
melonjak 44,5 persen menjadi 63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70
triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem
likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated)
dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar
meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990.
Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990
dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Perkembangan
Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93
(Milyar rupiah)
Tahun
|
Deposit
|
Kredit
|
Uang
Beredar
|
Inflasi
(%)
|
1988
|
37.510
|
44.001
|
33.885
|
6.10
|
1989
|
54.375
|
63.606
|
41.998
|
5.97
|
1990
|
83.154
|
97.696
|
58.704
|
9.53
|
1991
|
95.118
|
113.608
|
84.630
|
9.52
|
1992
|
114.850
|
123.689
|
119.053
|
4.94
|
1993*
|
117.636
|
124.922
|
123.161
|
6.59
|
Sumber
: Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan :
sampai Maret 1993
Keadaan
ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter
pada tahun 1990. Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi
jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20
persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK). Pada tahun yang
sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat
(Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk
mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat.
Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa dampak peningkatan suku
bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call
Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari
15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi
20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53
persen.
Kondisi
Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur
kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian,
peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip
kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta
peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga
ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha
bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi
ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi
perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank
Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan
untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan
untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang
bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang
pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan
sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain
yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank
Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991)
tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan
rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional
yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan
1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum
lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut,
Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham
yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan
persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang
diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah
dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang
digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :
·
Bank
Negara Indonesia (Persero)
·
Bank
Bumi Daya (Persero)
·
Bank
Rakyat Indonesia (Persero)
·
Bank
Dagang Negara (Persero)
·
Bank
Ekspor Impor Indonesia (Persero)
·
Bank
Pembangunan Indonesia (Persero) dan
·
Bank
Tabungan Negara (Persero).
Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai
bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang
berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang
khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu
ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam
pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan
pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi
hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan
tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional,
demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil
baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa
perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank
konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan
tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli
sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.
Otoritas
pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990
Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang
Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga
tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967
tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas
dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam
Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank
Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan,
serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan
Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti
dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta
bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental
dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut
adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan
deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah
pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go
public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.
Nilai
kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai
tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara
rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs
ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan
nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah
terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977
gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari
jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997
melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah
meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai
tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya
oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai
kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui
kebijaksaan fiskal dan moneter.
Perbankan
Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan
tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha
dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan
rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan
global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan
negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara
maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi
dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat
ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun
depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak
mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya
lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet
sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri
otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika
juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju
saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara
berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan
sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar
modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak
menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa
dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu
dua hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar